Sang Kepala Negara dan Kenyataan yang Dibayangkan

Presiden Joko Widodo (Jokowi) pernah terlihat menggerutu. Sebagai orang yang mengelola sebuah negara, ia meyakini negara yang dikelolanya itu memiliki kekuatan yang tidak bisa diremehkan. Keyakinan itu sering ia ucapkan dengan menyodorkan berbagai data, mulai dari angka produk domestik bruto, pertumbuhan ekonomi per tahun, sampai rating dari lembaga pemeringkat internasional. Namun masalahnya, ia menganggap, selama ini bangsanya masih merasa hidup di negara kecil dan terbelakang.

Ia gusar dan ingin mengubah anggapan itu. Satu cara dicoba diupayakannya. Cara yang, sepintas lalu, terlihat remeh-temeh. Misalnya, ia meminta menterinya yang biasa berurusan dengan hubungan luar negeri agar mengatur posisi interaksi antara dirinya dengan kepala negara lain dalam pertemuan kenegaraan.

Bila ada sebuah acara internasional dan terdapat jamuan makan malam, Jokowi menuntut menterinya itu agar mengatur posisi tempat duduknya tidak berjauhan dengan kepala negara yang menjadi tuan rumah. Jokowi tidak mau duduk di ujung meja makan yang jauh dengan tuan rumah, ia menuntut agar tempat makannya bisa bersebelahan dengan sang tuan rumah.

Begitu juga ketika ada sesi foto bersama antar kepala negara dalam sebuah acara, ia menuntut menterinya itu bisa membuat posisi Jokowi bersebelahan dengan sang tuan rumah. “Ini bukan untuk saya, tetapi untuk menunjukkan bahwa bangsa kita adalah bangsa besar,” katanya menjelaskan permintaan itu.

Entah bagaimana menterinya itu menindaklanjuti permintaan Jokowi. Mungkin ada cara-cara khusus dalam protokoler hubungan kenegaraan yang bisa memungkinkan keinginan Jokowi itu. Mungkin juga tidak dan sang menteri harus pandai-pandai melobi urusan rumah tangga kenegaraan sang tuan rumah untuk memuluskan keinginan atasannya itu. Pastinya, keinginan Jokowi menjadi kerja ekstra yang harus dituntaskan oleh menterinya yang perempuan itu.

Keinginan Jokowi dalam adab pertemuan antar kepala negara itu menarik disimak. Permainan simbolik dalam hubungan antar kepala negara tampaknya perlu serius diperhatikan, diantisipasi dan dikelola bagi segenap staf-staf istana negara beserta seluruh kabinet Jokowi.

Kepala negara yang saling berinteraksi tidak sekadar dipandang orang-orang yang berkerumun dan ngobrol ngaler-ngidul dengan sesamanya tanpa beban. Mereka diperlakukan sebagai orang yang mengelola urusan sehari-hari sebuah negara dengan luas geografis tertentu, dengan jutaan orang hidup di dalamnya, dan memutuskan apa-apa saja untuk wilayah dan nasib orang-orang yang diurusinya itu. Kuasa bersemayam di tubuh mereka karena hal itu dan sebagai implikasinya, kepala negara-kepala negara itu tidak saja dipandang individu belaka yang terdiri dari tubuh, darah, dan kehendak, namun mewujud jadi segenap wilayah dan orang-orang yang diurusnya itu. Menjadi hal yang masuk akal pula bila Pak Jok kemudian bisa menuntut adanya keharusan tertentu dalam pertemuan sesama kepala negara.

Realitas ganda

Keinginan Jokowi itu seperti menunjukan secuil pencapaian manusia dalam perjalanan yang telah berlangsung jutaan tahun. Sampai detik terakhir, manusia telah merasakan berbagai evolusi dan revolusi. Termasuk dalam hal hubungan antar sesamanya yang mengalami perkembangan dan lompatan-lompatan yang signifikan, mulai dari hubungan komunal dalam era berburu dan meramu sampai dengan hubungan yang berlapis strata dalam era kapitalisme global seperti saat ini. Era dimana Jokowi menggerutu tentang rasa rendah diri yang menyelimuti orang-orang dibawah kuasanya itu karena tidak memberikan negara kekuatan untuk berkompetisi di ranah persaingan bebas.

Orang-orang zaman dulu yang hidup dalam era berburu dan meramu mungkin tidak memusingkan persoalan-persoalan protokoler kenegaraan seperti yang diurusi Jokowi dan stafnya itu.

Mereka pasti menganggap persoalan seperti itu sangat tidak penting ketimbang memburu binatang sebanyak-banyaknya di saat makanan menjadi sesuatu yang langka. Namun demikian, hubungan antar manusia yang semakin berkembang, kemudian pembagian kerja yang semakin bervariasi, pada gilirannya, menghasilkan kompleksitas-kompleksitas baru.

Mungkin benar apa yang dikatakan oleh Yuval Noah Harari, sejarawan asal Israel itu, melalui bukunya yang berjudul Sapiens. Homo sapiens bisa berkembang jauh meninggalkan homo-homo sesamanya setelah melewati fase Revolusi Kognitif. Sebuah fase yang memungkinkan homo sapiens mengembangkan bentuk komunikasi yang kompleks.

Dari revolusi yang berlangsung antara 70.000–30.000 SM itu, homo sapiens tidak saja mampu mengkomunikasikan hal-hal yang terlihat di dunia luar melalui pandangan mata mereka. Misalnya, mengkomunikasikan kepada temannya bahwa ada singa di balik bebatuan yang terletak di sebuah bukit. Namun homo sapiens, dalam perkembangannya kemudian, mampu juga mengkomunikasikan hal-hal yang abstrak, tidak terlihat, dan menjadikannya keyakinan bersama, seolah-olah mewujud dalam dunia objektif di luar.

Begitu halnya ketika bicara tentang kemauan Jokowi ketika berinteraksi dengan kepala negara lain. Kemauan yang diklaimnya bertujuan untuk menunjukkan posisi negara dan bangsanya. Bila Jokowi secara gamblang memaparkan alasannya semata-mata demi keinginannya sendiri untuk bisa berdampingan dengan orang-orang penting tanpa embel-embel negara-bangsa, mungkin hasilnya akan berbeda. Namun ia memberikan penekanan bahwa kemauannya itu bukan untuk kepentingan sendiri, tetapi kepentingan yang lebih besar, yakni negara dan bangsanya.

Konsep-konsep seperti negara dan bangsa yang dibicarakan Jokowi adalah konsep yang abstrak dan ia lebih banyak menjadi sebuah hal yang dibayangkan. Memang kita bisa melihat ada tanah, pemukiman, orang-orang, infrastruktur jalan dan semacamnya. Namun mengklaim semua itu dan meyakini sebagai bagian negara dan bangsa merupakan hasil pembicaraan yang dibayangkan oleh para manusia. Dibayangkan sebagai hasil dari hubungan kerja yang rumit antar manusia.

Dan perbincangan yang dibayangkan itu tidak sekadar masturbasi, namun kemudian berbalik menjadi kenyataan. Demikianlah, kenyataan yang dibayangkan tentang negara-bangsa mendorong manusia membuat patok sebagai batas wilayah yang kemudian dikukuhkan dalam regulasi dan dipatuhi bersama, merekrut ribuan orang masuk tentara, bahkan menyatakan perang dengan sesamanya, atau dalam kasus Jokowi, menuntut menterinya membuat dirinya duduk bersebelahan dengan tuan rumah negara lain, semua itu atas nama negara. Nama yang diperbincangkan di langit-langit benak para manusia.

Ada kutipan dari Yuval yang menurutku menarik dan sekaligus ironis tentang bagaimana kemampuan komunikasi manusia berkembang sedemikian kompleks sehingga kita kini menjalani sebuah realitas ganda. Demikian Yuval (2017:37) menulis:

Sejak munculnya Revolusi Kognitif, Sapiens dengan demikian hidup dalam realitas ganda. Di satu sisi, realitas objektif sungai, pohon dan singa; dan di sisi lain, realitas yang dibayangkan tentang Tuhan, negara dan korporasi. Seiring berjalannya waktu, realitas yang dibayangkan menjadi semakin kuat, sehingga kini sungai-sungai, pohon, dan singa yang bertahan bergantung pada kemurahan entitas yang dibayangkan seperti Tuhan, negara dan korporasi.”

Leave a comment