Kebebasan dan Belenggu: BDSM

Aktivitas seksual BDSM mungkin bukan untuk sembarang orang. Tidak semua orang paham ketika ada pasangan tampak menikmati perlakuan yang tidak wajar selama aktivitas seksual, seperti disiksa, dipermalukan, ditundukkan, sedemikian rupa.

Bila dipikir lagi, aktivitas kontrol, dominasi, penundukkan, disiplin, seperti yang ada dalam BDSM, sebenarnya begitu dekat dengan situasi industri modern saat ini. Hanya saja, mungkin bila menyangkut perasaan, keduanya bisa saja bertolak belakang. Dalam aktivitas seksual, pasangan mungkin menikmati situasi seperti itu. Menikmatinya dalam suatu konsensus. Sementara dalam dunia industri modern, konsensus itu dipertanyakan: ada sebagian yang terbakar amarah atau diam dalam kepahitan karena merasakan situasi ditundukkan, dihina, bahkan disiksa. Namun ada juga sebagian yang merasakan kenikmatan karena memegang kontrol dan kuasa.

Poin lainnya adalah menyangkut salah satu pasangan yang berada dalam posisi submissive ketika melakukan aktivitas seksual BDSM. Salah satu studi ilmiah yang dilakukan oleh Elise Wuyts, dkk, menunjukkan adanya tanda-tanda peningkatan kenikmatan seksual dari pasangan yang berperan sebagai submissive. Bagi orang awam, memikirkan berada dalam posisi submissive mungkin akan jauh dari perasaan kenikmatan. Bahkan lebih dekat ke rasa sakit bila memikirkan seseorang yang diikat, dihina, dan bahkan disiksa, selama aktivitas seksual. Tapi, perasaan seseorang bisa sangat tak terprediksi. Justru ada sebagian lainnya yang merasakan suatu kenikmatan dari aktivitas seperti itu.

Baca juga: Bergulat dalam Imajinasi Lalu Terbentur Kenyataan

Bila dipikirkan lagi, mereka yang berperan sebagai submissive dalam BDSM, mungkin berada dalam suatu paradoks. Di satu sisi mereka dibelenggu oleh pasangannya yang dominan. Tapi, di sisi lain, bukannya perasaan tertundukkan yang muncul, namun suatu perasaan kebebasan. Suatu pelepasan gairah seksual yang, mungkin, tak mudah dideskripsikan.

Mungkin situasi seperti ini sekaligus meneguhkan bahwa perasaan seseorang – sesuatu hal yang sangat subyektif – bisa berkebalikan dengan kenyataan yang sesungguhnya – situasi objektifnya. Situasi obyektif submissive yang diikat, dihina dan disiksa – dengan kata lain, dibelenggu – tidak paralel begitu saja dengan persepsi dari seseorang yang mengalaminya, yang mempersepsikan rasa sakit itu tidak sebagai rasa sakit, tapi sebagai sebuah kenikmatan – sebuah katarsis, suatu pembebasan gairah.  

Baca juga: Resensi Musik Mastodon – Hushed and Grim

Dan bila memikirkan tentang sudut pandang subyektif dan situasi obyektif dalam konteks BDSM seperti itu, mungkin bukan sesuatu yang harus terlalu dipermasalahkan baik-benarnya, normal-tidaknya. Mungkin bagi seseorang yang memiliki standar moral tertentu, mereka bisa saja mempermasalahkan aktivitas BDSM sebagai akvitas yang dipenuhi kekerasan dan menyimpang.

Namun, aktivitas BDSM, sama seperti aktivitas seksual pada umumnya, berlangsung dalam ranah privat seseorang dan pasangannya. Artinya, konsensus sangat penting. Bila tidak ada konsensus, aktivitas ini jelas bisa disebut suatu tindakan penyiksaan, dominasi dan penghinaan. Persepsi seseorang mengenainya pun akan linier dengan situasi objektifnya. Ia akan merasa tersiksa, terdominasi dan terhina.         

Leave a comment