Tentang Kriminalitas

Memperhatikan kasus-kasus kriminal kerap memunculkan perenungan tersendiri mengenai sebab-sebab pemicunya. Apakah peristiwa kriminal itu memang akibat merosotnya moral seseorang ataukah lebih karena gejala tak beresnya lingkungan sosial dimana seseorang itu berada? 

Suatu waktu, sekitar pertengahan 2012, aku pernah bertugas meliput di pengadilan Kota Bandung. Dari sekian jadwal persidangan yang ada hari itu, ada seorang pekerja yang tengah berperkara. Ia adalah Kokom (21), seorang karyawati sebuah perusahaan air, yang didakwa menggelapkan uang perusahaan sebesar Rp 103 juta.

Kokom didakwa menyalahgunakan posisinya sebagai koordinator sales dan kolektor dalam melakukan aksi kriminalnya itu. Uang hasil tagihan para kolektor dan sales yang seharusnya diserahkan Kokom ke bagian kasir, diambil sebagian olehnya untuk kepentingan pribadi.

Saat ditanya oleh hakim mengenai penggunaan uangnya, perempuan yang telah bekerja selama 21 tahun di perusahaan air itu menjawab, bahwa dia menggunakan uang tersebut untuk membayar arisan suaminya. Lalu, saat ditanya oleh hakim mengenai keberadaan suaminya, Kokom menjawab, suaminya kabur.

Di lain kesempatan, ku sempat melihat berkas perkara Kokom. Dalam salah satu berkas tertulis: Kokom, bekerja di perusahaan air sejak 1991 dengan upah sebesar Rp 2juta.

Rp 2juta. 21 tahun bekerja.

Kemudian aku teringat saat jaksa selesai membaca dakwaan. Saat itu, hakim bertanya kepada Kokom perihal apakah ada bantahan atas dakwaan yang telah dibacakan. Kuingat jelas Kokom saat itu menggelengkan kepala.

Bila berangkat dari aspek legal-formal, Kokom sudah dipastikan bersalah. Menggelapkan uang dalam konteks ini diibaratkan sama seperti mencuri sesuatu yang bukan bagian darinya. Namun dalam titik ini sebenarnya persoalan menjadi berkabut. Seringkali masalah legal-formal selalu mengisolasi persoalan dengan menyisihkan situasi-situasi sosial yang melingkupinya. Pada akhirnya, perspektif hanya dipersempit ke dalam persoalan moral belaka yang dibebankan sepenuhnya kepada individu tanpa sejarah: Kokom mencuri dan mencuri adalah kejahatan. Dengan begitu, ia harus dihukum penjara.

Kokom tenggelam di dalam universalitas keadilan dan moral yang disamaratakan untuk setiap kondisi. Kehidupan Kokom yang dikondisikan untuk mendapatkan upah Rp 2 juta per bulan dalam rentang waktu kerjanya selama 21 tahun, kemudian juga posisinya sebagai perempuan yang bekerja di perusahaan, tak sepenuhnya terlihat.

Dalam situasi Kokom, menggelapkan uang perusahaan menjadi sebuah bentuk kenekatan yang dipicu oleh utang-utang keluarga. Tapi, kenapa bentuk-bentuk kenekatan yang mendobrak norma-norma hukum itu bisa muncul? Bila merenungi pendapatannya selama 21 tahun yang hanya mentok di Rp 2 juta per bulan, mungkin sedikit banyak gambaran kasarnya terlihat. Ia terdesak oleh kebutuhannya yang tak sebanding dengan pendapatan yang diterimanya selama ini.

Bila dipikirkan lebih lanjut lagi, kenapa bisa sampai ada seseorang seperti Kokom yang pendapatannya minimum dan nekat melawan hukum dan mendobrak norma? Dan kasus-kasus kriminalitas yang didorong kenekatan seperti itu bukan hanya identik dengan Kokom saja. Banyak kasus-kasus kriminalitas yang dipicu oleh kebutuhan seorang pekerja yang tak sebanding dengan pendapatan yang diterimanya setiap bulan.

Di titik ini, kajian Friedrich Engels tampaknya bisa memberikan sedikit wawasan. Ia pernah menulis tentang kondisi kelas pekerja di Inggris pada awal abad 19. Dalam kajiannya yang terbit pada tahun 1845 itu, ia berargumen bahwa tatanan sosial industri berbasis kapitalisme telah membuat derajat hidup kelas pekerja merosot. Tak terkecuali dalam hal kriminalitas, dimana masyarakat dari kelas pekerja yang berperkara hukum jumlahnya terus meningkat.

Terkait dengan peningkatan kriminalitas ini, tatanan sosial industri kapitalisme telah memunculkan kebutuhan akan buruh. Hal ini menjadi konsekuensi dari dorongan akumulasi laba yang hanya dimungkinkan ketika adanya proses produksi komoditi secara massal. Dan di Inggris kala itu, seiring meningkatnya jumlah buruh, Engels menunjukkan adanya korelasi dengan jumlah kasus kriminalitas. Pada tahun 1805, hanya terdapat 4.605 narapidana. Namun selama periode tiga puluh tujuh tahun setelahnya, terdapat peningkatan tujuh kali lipat terhadap jumlah narapidana yang mayoritasnya berasal dari kelas pekerja (lihat tabel).

Sumber: F. Engels (1845)

Sekilas melihat korelasi antara meningkatnya jumlah pekerja di Inggris dengan kriminalitas, seseorang mungkin beranggapan bila buruh memiliki semacam tabiat jahat atau tak bermoral sejak asali. Tapi, anggapan seperti itu tidaklah tepat. Apa yang menjadi penekanan di sini adalah bahwa tatanan sosial industri telah memerosotkan standar hidup buruh dan sebagai konsekuensinya, muncul beragam ekses. Salah satunya adalah persoalan kriminalitas.

Saat standar hidup merosot drastis di bawah tekanan industrialisasi yang tanpa ampun, tekanan-tekanan masalah yang dihadapi seseorang akan meningkat. Saat tekanan itu semakin tak tertanggungkan dan terasa semakin menindas, maka – mengutip istilah Engels – akan muncul kebencian. Dan bentuk yang paling mencolok dari kebencian itu adalah melawan hukum.

Bila memikirkan tatanan sosial industri kapitalisme, ada mekanisme-mekanisme tertentu di dalam tatanan sosial itu yang telah menyebabkan keterbelahan di masyarakat. Keterbelahan yang membuat sebagian kecil masyarakat berada dalam kelas pelayan kapital dan sebagian besar masyarakat berada dalam kelas yang bergantung kepada kelas minoritas tersebut. Bersamaan dengan itu, tercipta ketimpangan-ketimpangan sosial-ekonomi antara kelas pekerja yang hidupnya terus ditekan dengan kelas pelayan kapital yang standar hidupnya terus meningkat.

Selain itu, persaingan industri dan keharusan mencetak laba dari curahan kerja para buruh, telah memaksa para kapitalis untuk melakukan banyak efisiensi di lini produksi-distribusinya. Semakin miris, situasi seperti itu justru mendesak adanya tenaga kerja yang dikorbankan, entah dengan menekan upah sampai titik terendah, pemangkasan upah atau PHK. Situasi seperti ini menekankan bahwa akan selalu ada sekelompok besar orang yang derajat hidupnya terus dieksploitasi dan ditekan serendah mungkin.

Penindasan terhadap tenaga-kerja itu pada akhirnya akan memunculkan masalah yang lebih luas lagi dalam berbagai aspek kehidupan, tak hanya bergumul di dalam pabrik saja. Engels menunjukkan bahwa tendensi tatanan sosial industri berbasis kapitalisme seakan seperti racun yang merembes ke setiap segi kehidupan mayoritas pekerja, mulai dari tempat tinggal yang memburuk, kesehatan yang memburuk, pendidikan yang stagnan, sanitasi yang tak kunjung membaik, sampai merosotnya moral pekerja karena larut dalam mabuk-mabukan dan kebebasan seks yang tak terkendali.

Bila merenungi lagi dakwaan yang menimpa Kokom dan mungkin ribuan pekerja lainnya yang harus berhadapan dengan hukum karena dipicu kenekatan akibat kondisi hidup tak layak, di mata hakim mereka mungkin tetap melanggar aspek-aspek legal dan formal. Tapi, rasa-rasanya aspek keadilan belum seluruhnya terpenuhi selama tekanan hidup yang diakibatkan oleh tatanan sosial industri saat ini tak diubah secara radikal.

Leave a comment