Catatan tentang Marshall Green: Penjelasan G 30 S dari Kedubes AS dan Penjelasan Alternatifnya (3)

Tulisan sebelumnya: Catatan tentang Marshall Green: Tegangan Diplomasi dengan Soekarno (1) | Ruang Nalar Rasa

Duta Besar AS untuk Indonesia, Marshall Green, memulai tugasnya pada awal tahun 1965. Ia datang ke Jakarta ketika peristiwa paling menentukan bagi perjalanan Indonesia akan segera terjadi pada 30 September-1 Oktober 1965.

Sebagaimana diketahui, peristiwa yang dikenal dengan nama G 30 S itu begitu dalam dampaknya bagi sejarah Indonesia. Berawal dari upaya pembunuhan terhadap tujuh perwira militer oleh sesama anggota militer yang dikomandoi oleh Pimpinan Resimen Cakrabirawa, Letkol Untung, ditambah dengan adanya peran dari suatu badan ‘klandestin’ PKI bernama Biro Chusus (BC).

BC merupakan badan yang – berdasarkan catatan John Roosa (2008) – berada di luar PKI. Badan ini bergerak untuk memerantarai antara kepentingan PKI dengan perwira militer yang anti sayap kanan.  

Dampak lanjutan dari pembunuhan tujuh perwira militer – dan satu korban jiwa anak kecil di luar rencana – itu kemudian melebar kemana-mana. Pertama sekali, sorotan diarahkan langsung ke Partai Komunis Indonesia. PKI dan anggota militer simpatisannya dituduh hendak melakukan ‘pembersihan’ terhadap anggota-anggota yang terindikasi pro Amerika dan akan melakukan kudeta terhadap kepemimpinan Soekarno. Tuduhan itu kemudian bermuara kepada dibubarkannya PKI dan anggota-anggotanya ditangkapi. Lebih jauh lagi, pengejaran terhadap anggota-anggota PKI itu dilakukan dengan mengakibatkan korban jiwa yang mencapai ratusan.

Peristiwa yang awal mulanya berlangsung di lingkaran internal militer, bergerak spiral dengan menyeret banyak orang yang sebagian besarnya tak mengetahui apa-apa mengenai G 30 S. Lebih mengenaskan lagi, pemerintahan Soeharto mengeluarkan undang-undang antikomunis yang penerapannya sampai mendiskriminasi anak cucu orang-orang yang dicap PKI oleh pemerintah.

Dalam lingkup yang lebih luas lagi, G 30 S telah mengubah wajah pemerintahan Indonesia menjadi lebih condong ke arah kapitalisme yang dipromosikan oleh negara seperti AS. Bila sebelumnya Soekarno menolak bantuan negara-negara ‘donor’ karena alasan anti neo kolonialisme, maka pemerintahan Soeharto membuka tangan terhadapnya dengan alasan memulihkan kepercayaan pemerintah di tengah tekanan inflasi, tumpukan hutang negara, krisis nilai tukar, sampai krisis beras.

Dalam hubungan internasional, hembusan angin prahara di dalam negeri kala itu telah memalingkan wajah Indonesia dari Beijing dan Uni Soviet ke AS, Jepang, Inggris dan Belanda. Lembaga keuangan barat pro pasar bebas pun dirangkul dan diharapkan ‘resep-resep’-nya.

Posisi Marshall Green

Kembali ke posisi Green di tengah peristiwa G 30 S. Berdasarkan catatannya, Green mengaku tengah menonton wayang di suatu desa di pinggiran Jakarta pada malam 30 September – 1 Oktober. Ia menulis tengah menjadi tamu rekan sejawat dari Selandia Baru pada saat itu.

“Ketika saya pulang naik becak dini hari, jalan-jalan di Ibu Kota terasa sunyi. Saya tidak mendengar tembakan senapan atau kendaraan lapis baja, sekalipun Jenderal Yani yang tertembak di rumahnya boleh dikata bertetangga dengan saya,” tulis Green dalam bukunya.

Setiba di kantornya, Green mendengar siaran RRI mengenai pengumuman ‘Gerakan 30 September’ yang telah menyelamatkan Presiden dari kup CIA yang melibatkan Dewan Jenderal. Pengumuman itu disiarkan atas nama Letkol Untung. Dalam pengumuman itu, dinyatakan juga bila negara akan diperintah oleh ‘Dewan Revolusi Indonesia’.

Tulisan sebelumnya: Catatan tentang Marshall Green: Permintaan Majalah Playboy dari Soekarno (2) | Ruang Nalar Rasa

Pemberian nama ‘Gerakan 30 September’ dalam siaran RRI itu menimbulkan tanda tanya dalam benak Green. Menurutnya, kejadian pembunuhan tujuh perwira militer sebenarnya terjadi pada 1 Oktober dini hari, maka menjadi pertanyaan kenapa nama gerakan itu harus memakai tanggal sebelumnya. Dari pertanyaan ini, Green kemudian menduga ada kaitannya dengan Hari Nasional Cina Komunis. Ia menduga, para petinggi PKI tak ingin menggunakan nama 1 Oktober karena tidak ingin gerakan itu dihubungkan secara erat dengan Cina. “Terutama karena orang Cina secara luas tak populer di Indonesia,” tulisnya.

Perkembangan selanjutnya, sejak pengumuman di RRI, adalah bahwa ternyata tidak ada pemerintahan Indonesia yang diperintah oleh ‘Dewan Revolusi Indonesia’. Nasution lolos dari upaya pembunuhan dan Soeharto mengomandoi serangan balik Angkatan Darat yang sukses sekaligus brutal dalam sejarah.

Pada hari-hari berikutnya, Green mengatakan, Kedutaan AS mendapatkan pengetahuan-pengetahuan baru dari G 30 S, khususnya mengenai peran Soekarno di seputar kejadian itu.

Menurut penuturan Green, setidaknya ada dua poin penting penjelasan dari Kedutaan AS mengenai G 30 S yang disebut sebagai upaya kudeta. (1) upaya kudeta itu didasari oleh kekhawatiran PKI bahwa Soekarno akan segera meninggal karena masalah kesehatan. Sebagaimana diketahui, Soekarno menderita penyakit ginjal kronis dan penyakit lainnya yang menyebabkan ia meminta bantuan tim dokter Cina. Oleh sebab itu, PKI berusaha menghilangkan pimpinan Angkatan Darat selagi Soekarno hidup dan dapat melindungi PKI dari pembalasan AD. Selain itu, jika AD dapat ‘dinetralkan’, jalan akan terbuka bagi komunis untuk menguasai negara sepenuhnya.

Kemudian, penjelasan lainnya adalah (2) adanya kepercayaan di kalangan PKI bahwa akan ada usaha kudeta yang disusun oleh Dewan Jenderal. Kudeta itu disebut-sebut akan terjadi pada 5 Oktober, bertepatan dengan Hari Angkatan Perang. Namun Green menambahkan, tidak ditemukan bukti bahwa para Dewan Jenderal itu sedang merencanakan kup untuk menggulingkan pemerintah atau bahwa mereka mengetahui lebih dahulu akan adanya kup komunis. “Terbukti dari kenyataan bahwa mereka tertangkap di rumah mereka dalam keadaan tidak siaga, tanpa pengawal,” tulis Green.

Adapun mengenai pengetahuan Kedubes AS sendiri mengenai rencana kudeta itu, Green setidaknya mengatakan bahwa rencana itu di luar pengetahuan pihaknya. Suara yang disepakati di kalangannya saat itu adalah tidak lain dari ‘terkejut’ atas adanya upaya kudeta. “Tidaklah sukar bagi kami untuk meyakinkan Washington bahwa sikap yang paling bijaksana ialah mengakui bahwa kup itu benar-benar mengagetkan kami. Kementerian Luar Negeri pun sampai pada kesimpulan sama,” tulis Green.

Sementara mengenai sikap terhadap G 30 S, baik Kedubes AS dan Washington dikatakannya sepakat sepenuhnya bahwa AS jangan terlibat dalam peristiwa ini. Kejadian G 30 S dianggap di luar kemampuan AS untuk mengawasinya.

Mengenai ini, Green menulis: “Jelas, risiko kami besar sekali ketika AD berjuang mengatasi komunis, namun kami tahu hal ini untuk kepentingan kami juga – dan sungguh-sungguh demi kepentingan AD (sebagaimana yang segera kami ketahui) – karena AS berada di luar persengketaan itu. Indonesia menyelesaikan masalah ini dengan caranya sendiri”.

Penjelasan alternatif

Banyak pihak telah mencoba menjelaskan G 30 S. John Roosa (2008) menyebutkan setidaknya ada empat pendekatan dalam penjelasan mengenai G 30 S (lihat tabel).

PendekatanPengusungnya
G 30 S sebagai siasat PKI sebagai sebuah institusi untuk merebut kekuasaan negara.Pihak militer Indonesia.
G 30 S sebagai sebuah putsch intern Angkatan Darat yang dilakukan perwira-perwira bawahan.Dua ilmuwan dari Cornell University, Anderson dan McVey.
G 30 S merupakan kegiatan para perwira yang tidak puas, tetapi PKI juga memainkan peran pendukung yang kuat.Ilmuwan Australian National University, Harold Crouch
G 30 S diorganisasikan para jenderal Angkatan Darat melalui agen ganda agar dapat menciptakan dalih untuk menyerang PKI dan menggulingkan Soekarno.Ilmuwan Universiteit van Amsterdam, Willem Frederik Wertheim.
Sumber: John Roosa (2008)

Sejauh tentang penjelasan dari Marshall Green, sudah tampak bila ia termasuk kepada pendekatan yang beranggapan bahwa PKI sebagai sebuah institusi merupakan dalang di balik G 30 S. PKI dikatakannya sudah merancang bulat pembunuhan terhadap petinggi militer kanan.

Untuk lebih menegaskan lagi sikap Green ini, baiknya melihat catatan yang ia buat mengenai pelaku G 30 S. Ia mencatat, “kami berani menduga, (Letkol) Untung dan kebanyakan wakilnya hanyalah bidak-bidak PKI, dan kemudian kami mengetahui pemain-pemain utamanya, termasuk Panglima Angkatan Udara Omar Dhani dan Ketua PKI DN Aidit berada di markas besar pelaku kup, yaitu Pangkalan Udara Halim, sementara Presiden Soekarno segera pula bergabung ke sana” (Hal. 51).

Dengan menyasar PKI sebagai sebuah institusi, maka itu artinya setiap elemen di dalam PKI –seluruh petinggi partai yang mencakup politbiro, central committee – diasumsikan telah mengetahui, merancang dan mengeksekusi aksi G 30 S secara sistematis. Dengan demikian, bisa dikatakan, setiap elemen partai telah mengadakan rapat secara maraton, merekrut orang, memakai anggaran partai dan sebagainya untuk kepentingan G 30 S.

Mengenai hal ini, ada baiknya mengikuti penjelasan John Roosa sebagaimana yang terdapat di dalam bukunya, Dalih Pembunuhan Massal, untuk beberapa alasan. Pertama, penjelasan John Roosa termasuk lebih detail dalam mengungkap informasi-informasi seputar G 30 S. Ia juga mempertimbangkan berbagai informasi dan hasil kajian yang telah ada, memilah-milahnya lagi dengan kadar kritisisme yang, secara personal, terasa ‘mencerahkan’. Mungkin bisa dibilang kajian Roosa lebih kaya, bernuansa dan memberikan perspektif yang cukup luas dalam melihat G 30 S.

Pemaparan yang lebih bernuansa itu membuat pemahaman mengenai G 30 S, minimal, tak terlalu simplisistik seperti halnya versi penguasa (pemerintah, Marshall Green, dan semacamnya) yang unsur kepentingannya sudah terlalu bias. Selain itu, bila melihat catatan Marshall Green, itu adalah semacam memoar, bukan penelitian yang ditopang oleh metode-metode tertentu seperti halnya penjelasan dari John Roosa.

Dalam catatan-catatan Green, penjelasan mengenai G 30 S lebih merupakan pandangan berdasarkan pengalaman dan kesan-kesannya selama di Indonesia. Sementara catatan Roosa, karena dimaksudkan untuk menjadi sebuah penelitian, memiliki data-data yang lebih luas, mendetail dan berasal dari beragam persepektif, sebagaimana yang telah ditulis sebelumnya di atas.

Selain itu, penelitian John Roosa merupakan pembaruan dari hasil-hasil penelitian serupa yang telah ada selama ini. Tidak hanya mengandalkan penelitian terdahulu, John Roosa juga telah mewawancara narasumber dan juga pembacaan dokumen penting yang dalam penelitian sebelum-sebelumnya tak begitu dikembangkan.   

Artikel lain: Resensi Musik: Earth – Angels of Darkness, Demon of Light 1 – Waktu Tetirah Abo

Dan bila mengikuti penjelasan Roosa, akan tampak bila penjelasan versi Green tak seluruhnya tepat. Misalnya saja, penjelasan Green tentang PKI sebagai sebuah institusi yang merancang G 30 S. Penjelasan Green itu berbeda dengan hasil penelitian Roosa yang menyebutkan bahwa G 30 S adalah aksi klandestin antara Ketua Comite Central PKI D.N. Aidit, Ketua Biro Chusus PKI Sjam, serta sejumlah perwira Angkatan Darat Soekarnois-nasionalis-simpatisan PKI, yang berseberangan dengan perwira-perwira kanan didikan AS. Kata kunci klandestin dan institusi itu membawa perbedaan besar dalam hal memahami G 30 S, terutama ketika kita merenungi lagi aksi balasan Angkatan Darat sayap kanan melalui program Pengganyangan PKI yang memakan korban hingga ratusan ribu jiwa.

Roosa setidaknya sudah bertanya-tanya, dengan dasar hasil penelitiannya itu, tentang penangkapan sekaligus pembunuhan anggota maupun simpatisan PKI yang jumlahnya mencapai ratusan ribu. Padahal, G 30 S dirancang oleh segelintir anggota Politbiro PKI dan anggota Angkatan Darat. Dan khusus anggota PKI yang terlibat, mereka pun bergerak tanpa diketahui oleh keseluruhan komite PKI. Artinya, Aidit dan Sjam bergerak dalam suatu operasi rahasia (dan operasi yang berantakan pula secara koordinasi dengan perwira Angkatan Darat Soekarnois/kiri).

Namun, reaksi Angkatan Darat sayap kanan, yang dikomandoi Suharto, kemudian adalah menyapu habis unsur-unsur PKI di penjuru negeri. Pembersihan tidak hanya terduga ‘dalang’ yang jumlahnya mungkin tak lebih dari 20 orang, namun mencapai ratusan ribu jiwa. Sebagaimana sebuah judul buku, reaksi Angkatan Darat sayap kanan kala itu bagaikan ‘Musim Menjagal’. Tak proporsional.

Roosa menulis, “Seandainya pasukan Suharto menanggapi G 30 S dengan setimpal, seharusnya mereka hanya menangkap dua belas orang anggota Politbiro PKI, begitu juga tokoh-tokoh militer dan sipil yang terlibat di dalamnya. Tapi bahwa Angkatan Darat memburu setiap anggota PKI dan setiap anggota ormas yang terkait dengan PKI memperlihatkan bahwa tanggapan Angkatan Darat tak ditetapkan oleh kebutuhan untuk menindas G 30 S saja” (Hal. 320).

Konstelasi Global

Tak proporsionalnya pembalasan Angkatan Darat dalam peristiwa G 30 S akan menjadi masuk akal bila melihat kembali konteks politik global yang mempengaruhi situasi Indonesia kala itu. Dengan melihat kembali konteks global, akan membuat pernyataan Marshall Green – yang menyebutkan bahwa pemerintahan AS ‘terkejut’ karena sebelumnya ‘tak tahu apa-apa’ mengenai G 30 S – tampak menjadi sebuah klaim yang harus disikapi secara skeptis.

Dalam situasi politik global kala itu, kekuatan komunisme di Cina dan Uni Soviet tengah merengsek ke negara-negara lain. Sementara di Indonesia, PKI tengah kuat-kuatnya karena ditopang jumlah kader yang besar serta militan dan disiplin. Dan pada saat bersamaan, Presiden Soekarno yang populer di kalangan rakyat, lebih mengakomodir PKI.

Dalam hubungan luar negeri, Indonesia kala itu mempromosikan Gerakan Non Blok dengan Konferensi Asia Afrika yang terkenal. Namun pemerintahan AS dan sekutunya melihat gerakan itu lebih berorientasi kepada gerakan kiri dengan agenda-agenda anti imperialismenya, alih-alih menjadi pihak yang tak mendukung ‘kiri’ maupun ‘kanan’.

Artikel lain: Perjalanan Psikedelik ‘Enter the Void’ – Waktu Tetirah Abo

Di tengah-tengah situasi itu, berdasarkan catatan Roosa, pemerintahan AS pada masa Dwight Eisenhower (1952-196) setidaknya telah berpikiran untuk menghadang kekuatan komunis di Indonesia dengan strategi memecah belahnya menjadi negara-negara kecil. Upaya itu dilakukan dengan menyokong beberapa pemberontakan yang digerakkan oleh perwira Angkatan Darat di daerah. Misalnya, pemberontakan oleh kolonel-kolonel Angkatan Darat di Sumatra, Sulawesi, Maluku dan Makassar. Kemudian menyokong pemberontakan perwira Angkatan Darat yang dikenal dengan nama perjuangan semesta alam (Permesta) dan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI).

Seperti yang sudah diketahui, pemberontakan-pemberontakan itu dapat digagalkan oleh pemerintahan Soekarno kala itu. Kegagalan itu juga kemudian membuat AS mengubah strateginya. Alih-alih menyokong modal bagi kekuatan pemberontak, AS mulai menjalin kerjasama dengan Angkatan Darat. Kenapa Angkatan Darat? Karena di sanalah, pada waktu itu, kubu anti komunis terkuat berada.

Green, dalam catatannya, mengakui tentang Angkatan Darat sebagai ‘kawan yang bisa diandalkan untuk menumpas komunis’. Ia menulis bahwa Angkatan Darat merupakan “satu-satunya kekuatan yang ada untuk menentang gelombang pasang pengaruh komunis” (Hal. 34). Sementara empat angkatan bersenjata lainnya, Angkatan Udara, Angkatan Laut, dan Kepolisian Negara, dipandangnya telah disusupi oleh komunis.

Berdasarkan catatan Roosa, perubahan kebijakan ini dirumuskan secara sistematik dalam dokumen Dewan Keamanan Nasional (NSC) AS yang berjudul ‘Laporan Khusus Tentang Indonesia’. Laporan itu ditulis dalam periode Januari 1959. Dalam laporan tersebut, NSC melihat bila Angkatan Darat merupakan perintang utama terhadap perkembangan kekuatan komunis lebih lanjut di Indonesia. Selain itu, kekuatan sipil nonkomunis di dalam partai-partai politik – dengan dukungan Angkatan Darat – bisa berbalik melawan partai komunis di gelanggang politik. Oleh sebab itu, dalam rangka menumbangkan kekuatan komunisme, elit perwira Angkatan Darat anti komunis menjadi pihak yang didukung oleh AS.

Kebijakan NSC tersebut dijalankan dengan memberikan beragam bantuan terhadap kegiatan Angkatan Darat. Baik itu berupa sumbangan dan penjualan persenjataan, pendidikan perwira di AS, sampai bantuan finansial (lihat bagan).

  • 1950-1965

    Sekitar 2.800 perwira Angkatan Darat Indonesia dikirim ke Amerika Serikat untuk sekolah – sebagian besar sesudah 1958.

  • 1958

    AS memulai program bantuan militer dengan memasok perlengkapan untuk militer, khususnya Angkatan Darat serta melatih para perwira di AS.

  • 1958-1965

    AS mengeluarkan sekitar 10-20 juta dollar AS untuk bantuan militer Indonesia.

Roosa mencatat memo Sekretaris Negara AS Dean Rusk kepada Presiden Lyndon Johnson untuk menjelaskan tentang bantuan AS kepada tentara Indonesia. Dalam memo tersebut, Rusk menjelaskan bahwa bantuan kepada tentara Indonesia tergolong ‘kecil’ artinya, tapi bantuan itu dikatakannya “memungkinkan kita untuk menjalin hubungan tertentu dengan elemen-elemen kunci di Indonesia yang menaruh perhatian dan mampu melawan perebutan kekuasaan oleh kaum komunis”.

Pemerintahan AS, pada saat itu, sudah sampai mengambil kesimpulan bahwa tak mungkin menumbangkan pemerintahan Soekarno melalui cara-cara, seperti memberi bantuan kepada aktivitas pemberontakan semacam PRRI/Permesta. Soekarno dianggap popular di mata rakyatnya sehingga membuat posisinya sulit digoyahkan. Dengan demikian, diperlukan jalan lain yang lebih ‘memutar’ untuk menumbangkan komunisme di Indonesia. Jalan lain yang lebih berorientasi menyusun kekuatan untuk menghadapi PKI dengan bersandar kepada Angkatan Darat.

Bagaimana pun, pada saat itu, baik pihak AS dan perwira elit Angkatan Darat anti komunis, utamanya Jenderal Nasution, telah memiliki pandangan ke depannya bahwa konflik dengan PKI yang berujung perebutan kekuasaan akan terjadi, cepat atau lambat (begitu juga dengan D.N. Aidit Cs yang mengetahui kabar tentang sekelompok elit Angkatan Darat anti komunis yang, cepat atau lambat, akan menghadang meluasnya pengaruh PKI).

Artikel lain: Bisnis Pers Modern dan Marco Kartodikromo | Ruang Nalar Rasa

Dan konflik itu juga akan dipengaruhi oleh keadaan Soekarno. Tidak selamanya Soekarno akan menjabat presiden, terutama bila melihat kondisi kesehatannya yang tidak baik karena penyakit ginjal. Dalam hal ini, posisi Soekarno seolah turut menjadi penentu sebuah konflik untuk segera meletus.

Dukungan-dukungan AS terhadap Angkatan Darat dan ketergantungan elit-elit Angkatan Darat terhadap AS menjadi sebuah persiapan untuk mengantisipasi konflik dengan PKI. Jadi, bila kembali merenungkan lagi pernyataan Dubes AS Marshall Green bahwa pihaknya ‘terkejut’, ‘tidak tahu apa-apa’, dan ‘AS memilih bersikap diam’ tatkala G 30 S terjadi karena peristiwa itu terjadi di luar ‘kemampuan’ Paman Sam utnuk ‘mengawasinya’, bisa benar sebagian, tapi tak seluruhnya.

Kemungkinan yang ada, Green dan staf Kedubes AS mungkin benar-benar tak tahu mengenai G 30 S yang ternyata terjadi pada 30 September-1 Oktober 1965. Tapi yang pasti, jauh hari sebelum peristiwa itu, AS tak bersikap pasif. Kekuatan telah ditingkatkan dan persiapan telah disusun – melalui kerjasama dengan Angkatan Darat – untuk menghancurkan komunisme di Indonesia.

Dan penyusunan kekuatan serta persiapan itu setidaknya membuahkan hasil ketika G 30 S meletus. Gerakan itu menjadi pemantik bagi Angkatan Darat – yang sebelumnya telah mendapatkan beragam bantuan dari AS – untuk menghancurkan gerakan komunis seluruhnya di Indonesia. Angkatan Darat lebih sigap dengan tidak sekadar mengadili pelaku inti gerakan yang bertindak di luar pengetahuan lembaga dimana pelaku itu bernaung.  

Leave a comment