Catatan tentang Marshall Green: Permintaan Majalah Playboy dari Soekarno (2)

Tulisan sebelumnya: Catatan tentang Marshall Green: Tegangan Diplomasi dengan Soekarno (1) | Ruang Nalar Rasa

Ada kejadian yang unik – kalau bisa disebut kocak – dalam hubungan antara Duta Besar AS untuk Indonesia, Marshall Green, dengan Presiden Soekarno. Kejadian itu adalah tentang permintaan Soekarno agar Green bisa mengirim majalah Playboy untuk dirinya.

Permintaan Soekarno itu dituangkan Green dalam bukunya, “Dari Sukarno ke Soeharto, G30S – PKI dari Kacamata Seorang Duta Besar”, yang diterbitkan dalam edisi bahasa Indonesia pertama kali tahun 1992. Buku yang ditulis Green itu pada dasarnya merupakan pandangan-pandangannya selama bertugas di Indonesia sebagai duta besar AS periode 1965-1969. Periode bersejarah yang menentukan bagi perjalanan Indonesia.

Mengenai permintaan majalah Playboy ini, Green menulis, kejadiannya berlangsung ketika ia melakukan kunjungan kehormatan ke Soekarno, 31 Agustus 1965. Pertemuan dengan Soekarno itu dikatakannya bersifat kunjungan pribadi dan merupakan yang pertama kalinya sejak menjabat sebagai duta besar di Indonesia.

Seusai ramah-tamah dengan Presiden dan Green hendak keluar ruangan, Soekarno dikatakannya berbisik mengenai majalah Playboy itu. Soekarno mengaku kepadanya bahwa ia menyukai ulasan-ulasan film dan sandiwara yang ada di dalam majalah dewasa tersebut, meski peredarannya ia larang karena ‘gambar-gambarnya yang kotor’.

Soekarno, dituturkan oleh Green, kemudian mengaku akan sangat berterima kasih bila seandainya ia bisa menyelundupkan majalah itu secara rahasia. Green sendiri mengaku tersedak kaget ketika mendengar permintaan Soekarno itu.

Mengenai hal ini, Green menulis: “saya tersedak secara tidak terlihat, tetapi menampakkan kesan berusaha memenuhi permintaannya. Selanjutnya ia menemui saya berjalan melalui deretan wartawan dan juru potret yang menunggu, menuju mobil saya – suatu sikap bersahabat yang istimewa lagi” (Hal. 36).

Artikel lain: Agora, Kecamuk Agama dan Ilmu Pengetahuan – Waktu Tetirah Abo

Green mengaku, ia sempat menindaklanjuti permintaan Soekarno itu. Istri Green, yang tengah berada di Washington, dimintai tolong untuk bisa mengirim majalah tersebut lewat kantong diplomatik. Atasan Green di Kementerian Luar Negeri AS tidak diberi kabar mengenai permintaan ini. Tapi, Green mengaku telah memberi tahu Pembantu Menteri Luar Negeri AS, Bundy.

Singkat cerita, majalah Playboy berhasil ‘diselundupkan’ dan sampai ke tangan Green. Namun, ia mengaku, tersadarkan mengenai konsekuensi-konsekuensi yang mungkin ada bila majalah Playboy diberikan ke Soekarno. Green merasa bisa saja permintaan itu merupakan sebuah siasat dari Soekarno terhadap dirinya. Ia juga kemudian berpikir bila orang selevel Soekarno pasti memiliki cara yang lebih mudah untuk mendapatkan majalah Playboy.

Green kemudian membayangkan bila permintaan majalah dewasa ini bisa jadi jalan lain bagi Soekarno untuk membuat posisinya seolah-olah sebagai penyuap.

Mengenai hal ini, Green menulis: “Saya bayangkan ia (Soekarno) berkata, “Jawablah Duta Besar Green, ya atau tidak. Tidakkah benar bahwa Tuan telah mengirimi saya, Bung Karno yang murni dan polos, majalah-majalah Playboy, yang kotor?” Ketika saya tergagap hendak menjawab, lampu sorot berpindah kepada orang banyak yang bersorak-sorak. Karena itulah saya tidak pernah mengirimkan majalah itu kepada Sukarno, tetapi saya simpan jauh-jauh” (Hal. 36).

Pada akhirnya, majalah Playboy itu tetap ia simpan di sebuah ruangan di kedutaan. Kemudian dengan nada humor yang cukup sinis, Green mengaitkan majalah itu dengan sebuah peristiwa kerusuhan yang menimpa kedutaan AS enam bulan setelah pertemuan dengan Soekarno. “Enam bulan kemudian, ketika kedutaan kami berada dalam ancaman kepungan, majalah ini justru paling tahan api di antara semua berkas saya yang dibakar,” tulis Green.

Green dan Soekarno di ‘Arena Pertandingan’

Bila memperhatikan kesan-kesan Green mengenai Soekarno di dalam tulisannya, terasa bahwa ia kerap menganggap komunikasi yang terjalin tak lepas dari usaha-usaha siasat. Usaha-usaha yang di baliknya bertujuan saling menjatuhkan. Bagi Green, komunikasi dengan Soekarno seolah menjadi sebuah pertandingan yang di dalamnya terjadi situasi saling serang. Kesan seperti ini, sebagaimana yang akan kita lihat nanti, akan berkebalikan bila menyangkut Soeharto.

Dalam hubungannya dengan Soekarno, Green beberapa kali kerap menorehkan kata ‘siasat’ untuk menggambarkan proses komunikasi yang tengah berjalan. Untuk kasus majalah Playboy, misalnya, jelas dia menganggap permintaan Soekarno adalah bentuk siasat yang tujuan akhirnya adalah menjatuhkan dirinya. Padahal, bisa saja Soekarno memang sungguh-sungguh ingin majalah Playboy itu. Tidak ada niat untuk menjebak atau apa seperti yang dirasakan oleh Green.

Kemudian contoh lain, seperti di tulisan sebelumnya, dalam cerita tentang bagaimana ia terpaksa makan durian karena Soekarno. Dalam kasus itu, Green juga menangkap adanya kesan siasat dari Soekarno karena telah mengetahui bahwa ia tak menyukai durian. Green menganggap bahwa Soekarno memaksanya untuk memakan makanan yang tak disukainya. Padahal, bisa saja Soekarno memang benar-benar lupa bahwa Green tak suka durian, dan penyajian durian itu memang terjadi begitu saja, tanpa ada pretensi apa-apa.

Contoh lain adalah ketika Green menulis tentang momen protokoler penerimaan dirinya sebagai duta besar AS oleh Soekarno di Istana Merdeka. Menurut Green, penerimaan protokoler dirinya tergolong cepat, tak lebih dari seminggu, yakni 5 hari saja. Sementara duta besar negara lain harus menunggu berminggu-minggu untuk penerimaan protokoler oleh presiden.

Green menganggap kecepatan protokoler itu sebagai sebuah kehormatan, namun – ada namunnya – ia kemudian kembali menulis dengan nada curiga bila itu bisa saja siasat Soekarno yang ingin segera menyerang dirinya sebagai Duta Besar AS.

Mengenai hal ini, Green menulis: “penerimaan yang cepat itu bagi saya itu saya tafsirkan sebagai suatu penghormatan, tetapi saya sadar Sukarno mungkin ingin menggunakan kesempatan awal ini untuk menghina Duta Besar AS yang baru” (Hal. 30).

Untuk kasus ini, kecurigaan Green memang terbukti. Masih dalam suasana penerimaan protokoler, Green lebih lanjut menulis bahwa dirinya saat itu melakukan pembacaan pesan dari pemerintahnya kepada Soekarno. Dalam tata tertib protokoler, seusai pembacaan pesan oleh duta besar, maka presiden akan menjawab pesan tersebut. Di momen inilah kemudian ‘drama’ terjadi seiring Soekarno menyampaikan jawaban yang – disebut Green – menyerang kebijakan luar negeri AS.

Green menulis: “setelah saya dengan hati-hati membaca naskah pidato – semua serba cepat dan teratur, keramahan pun disesuaikan dengan keadaan – Soekarno melangkah ke depan, menyampaikan jawaban, yang berakhir dengan serangan terhadap kebijakan luar negeri AS. Meski kebiasaan diplomatik akan membenarkan jika saya meninggalkan ruangan saat itu, saya tidak punya pilihan lain kecuali tetap berdiri di sana. Meninggalkan ruangan barangkali akan menyebabkan Sukarno menyatakan saya persona non grata, memaksakan kepergian saya dari Indonesia” (Hal. 31).

Artikel lain: Catatan tentang Contagion: Kepercayaan Terhadap Sains (Bagian 2-Selesai) – Waktu Tetirah Abo

Tidak ada yang bisa dilakukan oleh Green. Bagaimanapun, Soekarno ibarat landlord pada saat itu.

Green kerap menulis dengan nada curiga bila menyangkut interaksi langsung dengan Soekarno. Seolah ia waspada bila, di tengah-tengah interaksi, tiba-tiba ada serangan mendadak yang diluncurkan oleh Soekarno. Bila Green tengah menuliskan gerak-gerik Soekarno yang dianggapnya sedang berada dalam suasana santai atau positif, ia pasti tetap waspada dengan kemudian menuliskan bila gerak-gerik yang santai atau positif itu bisa saja berubah menjadi serangan-serangan terhadap kebijakan negaranya.

Padahal, bila melihat foto-foto antara Green dan Soekarno sedang bersama, sekilas tidak terasa ada sesuatu hal yang seolah ‘bersitegang’ di antara mereka. Foto-foto kerap menunjukkan keduanya tertawa bersama, suasana seperti santai, duduk-duduk dan semacamnya.

Mungkin itulah politik. Selain itu, seperti kata orang tua dahulu, siapa yang tahu hati manusia. Apalagi, dalam konteks Green dan Soekarno, keduanya berasal dari daerah dan budaya yang memiliki perbedaan sangat mencolok. Bahkan kepentingan keduanya jauh berbeda. Bisa dibilang, baik Green dan Soekarno, merepresentasikan dua ideologi yang sesungguhnya tak terdamaikan.

…ngomong-ngomong soal dua ideologi yang tak terdamaikan…tampaknya berlaku juga dalam urusan majalah Playboy ini.

Leave a comment