Catatan tentang Marshall Green: Tegangan Diplomasi dengan Soekarno (1)

  • Judul: Dari Soekarno ke Soeharto, G 30 S PKI dari Kacamata Seorang Duta Besar
  • Judul asli: Indonesia, Crisis and Transformation 1965-1968
  • Penulis: Marshall Green
  • Terbit pertama kali: 1990
  • Terbit di Indonesia: 1992 (Pustaka Utama Grafiti)

Menarik membaca buku yang ditulis oleh Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia, Marshall Green, mengenai Indonesia yang saat itu berada di tengah kecamuk ‘perang ideologi’ antara komunisme dan kapitalisme. Green mulai bertugas di Indonesia pada awal tahun 1965 hingga tahun 1969. Selama penugasannya itulah Green menuliskan pandangan-pandangannya tentang Indonesia dalam sebuah buku.

Tahun-tahun Green bertugas di Indonesia, sebagaimana diketahui, merupakan periode yang kritis bagi arah perjalanan bangsa ini. Mayoritas warga Indonesia pasti mengetahui peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G 30 S). Peristiwa yang diawali pembunuhan 7 petinggi TNI AD akibat perseteruan elit militer (antara pendukung PKI dan non-PKI) itu pada akhirnya berujung kepada didapuknya Soeharto sebagai presiden kedua dan yang terlama menjabat di republik ini.

Selain itu, peristiwa G 30 S berakibat kepada hancurnya kekuatan PKI, partai yang telah memiliki akar sejarah panjang dengan keanggotaannya yang tidak sedikit. Pada masa itu, PKI disebut-sebut sebagai kekuatan komunis terbesar setelah Uni Soviet dan Cina.

Akibat lain, dan yang lebih subtil dari peristiwa G 30 S, adalah dilarangnya ajaran komunisme/marxisme sampai hari ini. Kemudian doktrinasi Orde Baru mengenai PKI dan segala turunannya, sampai-sampai mayoritas warga menjadi alergi dengan kata-kata itu, hingga saat ini. Contohnya, pada abad milenium ini, pemberitaan mengenai komunisme/marxisme dan segala turunannya tak lepas dari kesan buruk. Kesannya akan terasa lebih buruk bila dipakai oleh politisi atau avonturir politik. Misalnya, isu kebangkitan PKI yang terus didaur ulang politisi di media massa ketika menjelang pemilu atau ketika tengah ada peristiwa politik lainnya.

Artikel lain: Mitos Keharmonisan Pasar Bebas | Ruang Nalar Rasa

Di Indonesia saat ini, setiap politisi yang berpengaruh seolah-olah bisa dengan gampangnya menuding pihak oposisi dengan kata-kata keramat “ditunggangi PKI” atau “tanda-tanda kebangkitan PKI/komunisme”. Kata-kata itu seolah menjadi jawaban cepat dan mudah yang bisa dipikirkan oleh banyak politisi atau avonturir politik dengan harapan menjatuhkan lawan. Mungkin, kata-kata PKI, komunisme dan marxisme, posisinya setara dengan isu konspirasi global yang didalangi Freemason: ada sekelompok bayang-bayang elit misterius yang bergerak di balik layar tak kasat mata, berkomplot untuk tujuan dominasi global.

Kata-kata, seperti kebangkitan PKI/komunisme, di negeri ini akan terus didaur ulang di momen-momen pemilu, terlepas dari sejarah G 30 S itu sendiri yang berdampak kepada hancur leburnya PKI, komunisme-marxisme, secara struktural. Tidak peduli bahwa fondasi yang memungkinkan PKI bangkit itu sendiri sebenarnya akan sangat kecil bila melihat sarana-prasarana PKI di berbagai daerah yang telah dimusnahkan puluhan tahun lalu, dilarangnya ajaran marxisme-leninisme di sekolah-sekolah hingga sekarang, sampai dimatikannya orang-orang yang terindikasi ‘memeluk’ ajaran komunisme/marxisme.

Marshall Green dan Soekarno

Posisi Green saat berada di Indonesia pada masa-masa 1965 dan setelahnya cukup menarik disimak. Ia merupakan representasi AS. Artinya, ia mewakili kekuatan negara yang tengah berupaya keras menghadang kekuatan marxisme-komunisme yang dipromosikan oleh Uni Soviet dan Cina. Sementara negara asal Green berkepentingan mempromosikan pasar bebas dan liberalisme untuk kepentingan akumulasi kapital (kepentingan negaranya itu, pada akhirnya, sukses diterapkan di Indonesia sampai sekarang).

Indonesia, pada masa Green menjabat, masih memiliki kecenderungan marxisme-komunisme yang kuat dan condong kepada Cina, meski masih berhubungan baik dengan Uni Soviet. Sebagai informasi, pada masa 1960-an, Uni Soviet dan Cina memiliki perbedaan penafsiran mengenai marxisme-komunisme.

Green masuk pertama kali ke Indonesia ketika Soekarno masih menjadi presiden. Tepatnya, ketika Soekarno menjalani hari-hari terakhirnya sebagai presiden. Jadi, bisa dibayangkan, Green seolah-olah masuk ke kandang harimau. Ia datang ketika Soekarno justru tengah giat-giatnya berkampanye tentang segala hal anti-imperialisme dan neo kolonialisme: wacananya tentang new emerging forces (Nefos), nasionalisme-agama-komunisme (Nasakom), keputusannya membawa Indonesia keluar dari PBB, kebijakannya menasionalisasi perusahaan asing. Selain itu, di belakang Soekarno juga berdiri PKI dan PNI yang sedang banyak-banyaknya memiliki basis massa.

Artikel lain: Sang Kepala Negara dan Kenyataan yang Dibayangkan | Ruang Nalar Rasa

Tindakan-tindakan Soekarno, berdasarkan catatan Green, seringkali membuat Washington berang. Petinggi Green di Washington kerap beranggapan bila tindakan-tindakan Soekarno itu sebuah ‘lelucon yang sombong’ yang orientasi utamanya adalah mencuri sorotan dunia, meski bukan berarti lelucon itu bisa diremehkan.

Green menulis, “walaupun tujuan yang diakui sendiri oleh Sukarno adalah membentuk pemerintahan Nasakom, masih terdapat kecenderungan pada hampir setiap pejabat di Washington – termasuk saya sendiri – melihat Indonesia sebagai kekuatan yang berbahaya di pentas dunia, tetapi bukanlah kekuatan komunis yang potensial” (Hal. 29).

Green cukup banyak melukiskan suasana hari-hari pertama penugasannya di Jakarta yang penuh tekanan karena posisinya berseberangan dengan pemerintahan Soekarno itu. Kedutaan AS disebutkannya seringkali menjadi sasaran demonstran.

Dalam suatu peristiwa demonstrasi di konsulat AS di Medan dan Surabaya, ia menyebutkan, para staf terpaksa terkurung berjam-jam di dalam kantor. Demonstrasi juga tak jarang mengakibatkan rusaknya berbagai properti. Di Konsulat AS di Medan, para demonstran merobohkan gardu jaga dan pintu pagar, lalu memecahkan semua kaca jendela. Selain itu, sebanyak 3.000 sampai 4.000 demonstran dikatakannya pernah menduduki Konsulat AS di Surabaya. Menurut Green, aksi demonstran itu acapkali disulut oleh posisi politik Soekarno yang menentang AS sebagai representasi imperialis.  

Dalam hubungan diplomatik dengan Soekarno pun terasa ada tegangan dengan Green. Ia menulis, kerap mendatangi sebuah acara dimana Soekarno akan berpidato tentang buruknya imperialisme. Secara tak langsung, pidato itu ia rasakan merupakan sebuah bentuk serangan terhadap negaranya, dan dengan demikian, dirinya sendiri.

Ini, misalnya, terlihat dari catatannya ketika menghadiri Upacara Kemerdekaan RI, 17 Agustus 1965. Dalam pidato yang – setidaknya diingat oleh Green – berapi-api, Soekarno mengeluarkan pernyataan tentang pembentukan poros Beijing-Pyongyang-Hanoi-Pnom Penh-Jakarta.

Artikel lain: Catatan tentang Contagion (1) – Waktu Tetirah Abo

Green merasa bahwa tuan rumah dan tamu istimewa lain dari Cina, Korea Utara dan Vietnam Utara, menginginkan dirinya agar segera angkat kaki dari acara itu setelah pernyataan tentang ‘poros aliansi’ dinyatakan oleh Soekarno. Tetapi, ia memilih untuk tetap berada di Istana Merdeka sampai acara selesai.

Mengenai hal ini, Green menulis: “Tentu saja Sukarno dan rombongan besar wakil-wakil pers dari Cina, Korea Utara, Vietnam Utara tidak puas karena tidak menyaksikan saya angkat kaki dari upacara yang dihadiri oleh semua anggota Korps Diplomatik. Saya sudah mengirim kawat ke Kementerian Luar Negeri di Washington bahwa saya memang ingin terus duduk membisu, dan Kementerian saya setuju” (Hal. 35).

Di momen yang lain, suasana tak bersahabat antara Indonesia-AS juga tecermin dari tingkah ‘tengil’ Soekarno terhadap Green secara pribadi. Green menulis bahwa dirinya tak menyukai buah durian karena baunya yang seperti keju busuk. Namun, Soekarno memaksanya untuk tetap memakan durian. Peristiwa itu terjadi ketika acara peletakan batu pertama Universitas Indonesia, 28 September 1965.

Mengenai hal ini, ia menulis: “[…] segera menjadi jelas bagi saya bahwa Sukarno hendak menjalankan salah satu siasatnya, karena, setelah mengetahui bahwa saya amat tidak suka durian, yang baunya seperti keju busuk, ia mengambil sebuah durian dan dibawanya ke panggung. Sukarno memimpin paduan suara mahasiswa, “makan, makan,” lalu saya terpaksa menelan makanan yang menjijikan itu demi kehormatan negara saya” (Hal. 40).

Hubungan yang canggung dengan Soekarno memang terasa ketika melihat tulisan Green. Wajar bila mengingat posisi ideologi yang sangat bertolak belakang di antara keduanya. Green mengingat Soekarno sebagai sosok yang ‘terlalu asyik dengan revolusi’, namun tak memperhatikan masalah manajemen ekonomi.

Di bawah kepemimpinan Soekarno, Green melihat ekonomi Indonesia semakin jatuh ke dalam utang dan menyebabkan inflasi yang tak terkendali. Keterpurukan ekonomi itu dipandangnya bisa menyebabkan dukungan rakyat terhadap pemerintahan Soekarno luntur, cepat atau lambat.

Dan di tengah keterpurukan ekonomi itu, Green menulis, Soekarno justru semakin mendekat ke arah ideologi komunisme, baik di dalam maupun luar negeri. Kecenderungan ke arah ‘kiri’ itu tak lepas dari dukungan Moskow, Beijing, sampai PKI. Bagi Green, Soekarno – dengan kharisma dan pidato yang berapi-api – seolah memberi rakyatnya teater besar dan mereka pun menyukainya. Tetapi, pada saat bersamaan, Soekarno dinilainya membiarkan rakyat menderita ketika mulai condong ke arah komunisme dan pada saat bersamaan mengabaikan ekonomi rakyatnya.

Tulisan selanjutnya:

Leave a comment